Badannya kecil dan mungkin tinggi
badannya hanya sekitar 145 cm, rambutnya terlihat pirang karena terlalu lama
terkena sinar matahari. Dialah Mba Rizka, seorang pemulung yang awalnya saya
pikir berusia di atas 27 tahun. Ada sesuatu yang berbeda darinya sehingga saya
tergerak untuk mendekat dan berbincang dengannya. Saya memperhatikan perutnya
yang terlihat sedang mengandung dan ternyata benar, usia kandungannya sudah
sembilan bulan. Ini berarti bahwa dalam hitungan hari ia akan melahirkan
seorang bayi. Mungkin ibu hamil pada umunya menanti waktu kelahiran dengan
bersantai di rumah. Namun Mba Rizka menantinya dengan berpanas-panasan di
jalan, mengikuti suaminya memulung. Kegiatan itu rutin ia lakukan sejak Juni
2016 saat suaminya memutuskan untuk menjadi pemulung. Perutnya yang semakin
membesar tidak menjadi halangan baginya. Di hari-hari menjelang kelahiran, ia
tetap setia menemani langkah suaminya untuk memungut sampah-sampah itu.
Bersama
dengan sebuah gerobak tua, Mba Rizka dan suaminya menyusuri jalanan di daerah
Depok II Timur. Mereka mulai beraktivitas pada pukul 05.00 WIB hingga pukul
19.00 WIB. Sang suami berada di depan untuk menarik gerobak yang berisi
barang-barang hasil memulung sementara sang istri mendorongnya dari belakang
meskipun seringkali dilarang suaminya karena khawatir akan kondisi bayinya.
Namun Mba Rizka tetap tidak tega melihat sang suami membawa beban gerobak itu
sendirian. Ia selalu ingin meringankan beban suaminya.
Di tengah perbincangan,
ia banyak bercerita tentang kisah hidupnya dan tak jarang ia berbicara sambil
tersenyum seolah sedang tak menanggung beban apa-apa. Ia selalu menantikan
waktu kelahiran bayinya. Bukan hanya karena ingin melihat bayinya, tetapi ia juga
menantikan momen melahirkan itu. Dulu ia bercita-cita ingin menjadi bidan namun
keadaan tak berpihak padanya. Ia
mengatakan “saya suka ngeliat bidan yang bisa bantu orang lahiran. Makannya
saya pengen banget ngeliat dan merasakan langsung melahirkan sama bidan. Jadi
walaupun gak jadi bidan, saya tau gimana proses melahirkan hehe”. Raut wajahnya
terlihat bahagia. Namun bagaimana dengan hatinya? Entahlah.
Mba
Rizka dan suaminya tinggal bersama dengan pemulung-pemulung lainnya di sebuah
tempat yang disediakan oleh bosnya di daerah Abadijaya. Sementara itu, keluarga
Mba Rizka tinggal di Kalimantan. Saat saya menanyakan di kota dan Kalimantan
bagian manakah keluarganya tinggal, ia menjawab “aduh gak tau deh dimananya.
Pokoknya waktu itu ada saudara yang ngajakin, katanya ada kerjaan dan hidup di
sana hidup tuh lebih gampang jadi keluarga saya ya ngikut aja”. Mendengar
jawaban tersebut, jujur saya kaget. Bagaimmana bisa seorang anak tidak
mengetahui pasti keberadaan orang tua dan saudara-saudaranya. Mungkin karena
selama ini yang selalu ia pikirkan hanyalah urusan perut shingga tak ada waktu lagi
untuk memikirkan hal lain. Mba Rizka adalah anak pertama dari sembilan
bersaudara. Orang tuanya yang bekerja serabutan dan berpenghasilan pas-pasan
harus menghidupi ke-delapan anaknya. Sebagai anak sulung, tak ada yang bisa
diharapkan dari Mba Rizka. saat ini, selain tidak mengetahui secara pasti
dimana orang tuanya tinggal, Mba Rizka juga sangat jarang berkomunikasi dengan
orang tuanya karena ia tak mampu membeli pulsa.
Foto di atas diambil ketika Mba Rizka
dan suaminya sedang beristirahat di emperan toko. Sejak ia hamil, mereka memang
lebih sering berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Kapanpun Mba Rizka
merasa lelah, mereka akan berhenti dan beristirahat. Ketika saya bertanya
kenapa ia tidak tinggal di rumah saja, ia menjawab “bosen kalau di rumah, gak
ada hiburan, gak ada TV. Mending nemenin suami, ya itung-itung buat olah raga
ibu hamil kan hehe dan alhamdulillah gak pernah sakit di jalan. Ya paling
nyeri-nyeri biasa aja dan abis itu ilang sendiri”. Jawaban tersebut mengajarkan
saya bahwa seberat apapun keadaan jika dimaknai dengan ikhlas dan bersyukur maka
semua akan terasa lebih mudah.
Kemudian,
di tengah perbincangan, saya menanyakan umur Mba Rizka dan ia menyebutkan dua
puluh dua. Ya, itu berarti umurnya hanya selisih satu tahun dengan umur saya.
Mendengar jawaban tersebut, saya semakin kaget karena di umur yang hampir sama
ini, saya dan Mba Rizka memiliki kehidupan yang sangat berbeda. Di sini saya
adalah orang yang lebih beruntung darinya. Ketika itu saya berfikir betapa
tidak pantasnya saya seringkali mengeluh dengan tugas-tugas kuliah dan
urusan-urusan lain yang mungkin sebenarnya sepele. Ya, hanya karena hal-hal itu
terkadang saya lupa untuk bersyukur pada yang di atas. Lalu Mba Rizka? setiap
hari ia harus menghadapi hidup yang begitu keras tetapi ia jarang mengeluh dan
bahkan dengan perut yang semakin membesar ia tetap semangat bekerja bersama
suaminya berkeliling mencari sampah demi sampah yang hanya mampu memyelamatkan kebutuhan
perutnya.
Hasil
dari sampah-sampah yang telah mereka pilah kemudian ditimbang dan ditukarkan
dengan uang setiap dua minggu sekali. Setiap kali penimbangan, rata-rata
penghasilan kotor mereka adalah Rp 400.000 kemudian setelah dipotong uang
kontrakan dan uang cicilan hutang, mereka hanya menerima Rp 200.000. jadi,
setiap hari mereka hanya bertahan dengan uang kurang dari Rp 15.000. Tentu saja
uang itu tidak dapat menutupi kebutuhan setiap hari. Lalu saya bertanya
bagaimana strategi mereka untuk makan setiap hari. Lalu ia mengatakan
“alhamdulillah, ada aja orang yang ngasih makanan ke kita. Bukan Cuma makanan,
baju juga suka dikasih orang. Padahal
saya tidak pernah minta. Sebenernya ngerasa gak enak kalau setiap hari dikasih
tapi mau gimana lagi, kita gak bisa apa-apa”.
Ya,
pasti banyak orang yang iba melihat keadaan mereka apalagi melihat Mba Rizka
yang sedang hamil tua sehingga banyak orang yang memberikan makanan ataupun
barang-barang yang bagi mereka mungkin tidak seberapa tapi bagi Mba Rizka dan
suaminya sangat berharga dan dapat membuatnya bertahan hidup hingga saat ini.
Namun ternyata tidak semua orang berbuat baik padanya. Salah satu tetangganya
yang juga pemulung, seringkali memfitnah Mba Rizka dan suaminya di depan
bosnya. Entah apa alasannya, namun hal itu hanya dipendam dan mereka percaya
bahwa Tuhan yang akan membalas semua perilakunya.
Menjelang
kelahiran anak pertamanya, mereka belum mulai menabung sedikit pun untuk biaya kelahiran.
Ia mengatakan “boro-boro nabung, buat makan aja kurang dan untungnya selalu ada
orang baik yang ngasih kita makanan. Paling buat biaya besok, kita ngandelin
utang dari bos. Nanti bayarnya dipotong dari hasil timbangan”. Mereka memang
selalu mengandalkan kebaikan hati bosnya. Entah telah berapa banyak utang
mereka sampai saat ini namun untungnya bosnya tidak pernah menerapkan sistem
bunga.
Dalam perbincangan itu,
tidak hanya saya yang selalu bertanya pada Mba Rrizka tetapi ia juga tidak
segan untuk bertanya pada saya. Mungkin karena dia juga merasa kita seumuran.
Saya seperti sedang mengobrol biasa dengan teman saya namun bedanya adalah,
jika biasanya obrolan kami adalah tentang tugas kuliah, kerja kelompok, tempat
makan yang baru buka, hingga harga lipstik berbagai merk. Kali ini, topik
perbincangan saya dengan Mba Rizka adalah tentang sebuah kerasnya hidup yang ia
jalani, tentang sisi kehidupan yang selama ini mungkin hanya saya lihat di
sinetron-sinetron. Sebelum mengakhiri perbincangan, saya sempat menanyakan apa
harapan mereka dan kemudian jawabannya adalah “ya pengen berubah lah nasib kita
ini, jangan gini-gini aja serba kekurangan”. Ya, perubahan lah yang mereka
butuhkan.
Kehidupan
Mba Rizka telah mengajarkan bagimana seharusnya bersyukur atas apa yang saya
miliki sekarang. Ia juga mengajarkan saya bahwa mungkin masih banyak orang yang
senasib dengannya dan apa yang saya lihat dari dia dan suaminya hanyalah potret
kecil dari disadvantage people di negeri ini. Kemiskinan yang mereka
hadapi tidak selamanya akibat darii rasa malas. Buktinya adalah Mba Rizka dan
suaminya, mereka telah berusaha keras untuk mencari pekerjaan yang layak namun
karena tidak memiliki pendidikan dan skill, tenaga mereka tak dihargai
dan jalan keluarnya adalah menjadi pemulung. Tak selamanya mereka pemalas
tetapi ketiadaan akses membuat kemiskinan itu semakin membelenggu dan sulit
untuk hilang. Untuk orang-orang seperti itulah suatu perubahan diperlukan.
Suatu perubahan yang akan merubah hidup mereka menjadi lebih baik.